Jumat, 31 Desember 2010

Belajar dari Ahmad Bustomi


Ahmad Bustomi, Jenderal lapangan tengah Arema dan jangkar Timnas Indonesia ini benar-benar sedang dalam performa terbaiknya. Gelaran Piala AFF 2010 ini seakan mentahbiskanya sebagai salah satu gelandang terbaik yang dimiliki Indonesia. Seorang sahabat menyebutnya Ahmad Bustomi seorang ‘unsung heroes’ Indonesia. Bagaimana tidak, di saat media, supporter dan segenap warga Indonesia mengelu-elukan Irfan Bachdim, Cristian Gonzales, dan Oktovius Maniani, serta sang super sub Arif ‘keceng’ Suyono, praktis hampir tidak ada orang yang melihat seorang Ahmad Bustomi. Hal ini mirip dengan apa yang dialami Paul Scholes di Inggris atau Xavi Hernandez di Barcelona.

Ahmad Bustomi, memainkan peran sangat sentral baik itu di klubnya Arema maupun di Timnas Indonesia. Posisinya sebagai central midfielder sangat vital bagi organisasi sebuah tim sepakola baik dikala menyerang atau pun bertahan. Bustomi adalah orang pertama yang langsung berhadapan dengan skema penyerangan lawan, dan Bustomi jualah orang pertama yang melakukan inisiasi penyerangan. Peran ini mirip yang dimainkan Patrick Viera di Arsenal, Andres Iniesta di Timnas Spanyol, Andrea Pirlo di Milan, Sami Khadeira di Timnas Jerman atau Roy Keane di Manchester United. Perannya bak ‘tukang angkut air’ karena dia bertugas mendistribusi dan mengalirkan bola dari belakang menuju sentrum penyerangan atau yang memutus ritme permainan dan aliran serangan lawan.

Chimot, demikian panggilan akrab Aremania padanya, lahir di Jombang, Jawa Timur, 13 Juni 1985, hanya selisih satu tahun lebih tua dari adik bungsu saya. Ahmad Bustomi, yang saya kenal adalah pribadi yang santun, religius, dan bersahaja. Setidaknya itu yang tercermin saat pertemuan kami di Bandung, jelang ujicoba Timnas versus Maladewa. Begitu telaten melayani permintaan foto bersama maupun tanda tangan, meladeni dengan serius segenap pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya. Sama sekali tidak nampak keangkuhan khas pemain bintang. Bustomi tetap bersahaja. Bahkan ketika waktu beranjak Magrib, dia mohon diri untuk menunaikan shalat seraya kemudian berjanji (dan menepatinya!!) untuk bertemu kembali setelah makan malam. Sungguh pribadi yang luar biasa.

Dalam konteks kiprah Indonesia dalam gelaran Piala AFF tahun ini, Ahmad Bustomi selalu dipercaya coach Alfred Riedl mengisi lini tengah mendampingi playmaker dan dirijen Timnas; Fiman Utina (#15). Tanpa seorang gelandang jangkar seperti Bustomi, skema permainan Indonesia menjadi timpang, burung garuda kita laiknya terbang dengan sayap yang patah. Indonesia seakan mengalami demam panggung dan monoton dalam bergerak. Kolaborasinya bersama Firman Utina mungkin adalah duet terbaik di lini tengah sepanjang gelaran piala AFF.

Kolaborasi keduanya begitu ciamik, begitu ekselen, dan begitu padu. Lihat saja pada saat Timnas Indonesia versus Thailand, di saat Firman Utina tidak bermain, dan Ahmad Bustomi tidak bermain penuh. Seperti ada sesuatu yang hilang. Timnas bermain tanpa pola, tanpa skema, dan gagap dalam membangun serangan maupun bertahan, raga bergerak tanpa jiwa tanpa rasa. Namun lihatlah setelah Bustomi masuk dipertengahan babak kedua, perlahan namun pasti Timnas keluar dari tekanan. Eka Ramdani playmaker dan jantung permainan Persib Bandung yang di plot menggantikan posisi Firman Utina seakan mendapat angin segar, untuk dapat fokus dalam penyerangan. Hasilnya; Indonesia 2, Thailand 1, Indonesia juara grup dengan poin sempurna.

Pemainan Ahmad Bustomi yang rancak, dinamis, dan powerfull ini seakan membawa kita pada kenangan figur seorang Eri Erianto, breaker tangguh dan gelandang nafas kuda yang pernah dimiliki Persebaya serta Bima Sakti Tukiman, yang menjadi mentor Bustomi sewaktu membela Persema Malang. Peran keduanya sangat memudahkan Fachri Husaini dikala itu untuk men-create taktik penyerangan. Demiian juga di era sekarang. Problem mendasar timnas Indonesia adalah problem lini tengah yang keropos, malu-malu kucing, tidak trengginas tidak pula elegan. Indonesia hampir 10 tahun terakhir tidak memiliki pemain tengah yang mampu ‘memegang’ dan menahan bola dengan baik. Kelemahan itu dibaca dengan baik oleh Alfred Riedl.

Duo Firman-Bustomi adalah temuan terbaik jajaran pelatih Timnas Indonesia hari ini. Firman Utina sebagai playmaker ditopang oleh Ahmad Bustomi adalah racikan yang brilian. Bustomi berani ‘memegang’ bola sehingga memberikan waktu lebih banyak bagi Firman untuk membidik dan mengamati celah demi celah di benteng pertahanan lawan. Jadilah kerjasama keduanya di Timnas Indonesia sekarang bak duet maut Xavi-Iniesta di Timnas Spanyol.
Begitulah Bustomi, pemain yang saya anggap paling representatif untuk menerapkan tetralogi permainan sepakbola; santun dalam bermain, menjaga fighting spirit, menggunakan staying power, dan berpandangan egaliterian. Kesantunan Bustomi jelas terlihat dalam kesehajaan pembawaanya.

Permainannya yang lugas namun tetap menghormati harkat pemain lain menandakan si empunya memiliki mentalitas yang baik. Mentalitas bermain ini yang menjadi pilar kesuksesan seorang pemain. Bustomi adalah pemain yang sukses menggabungkan intelegensia dengan staying power, seperti yang pernah saya ulas ditulisan sebelumnya, staying power adalah tentang bagaimana sorang pemain dengan kondisi fisik yang dimilikinya dapat menjaga visi bermain sepanjang pertandingan bahkan sepanjang kompetisi. Menurut Juergen Klinsmann, legenda sepakbola Jerman; “sepakbola adalah tentang staying power, tim yang bisa mempertahankan permainan terbaiknya selama pertandingan dialah yang akan menjadi pemenang”.

Posisi Bustomi yang tepat berada di jantung permainan memudahkannya untuk terus memompa fighting spirit (not the spirit for fighting) rekan-rekannya. Religiusitas mungkin sangat berperan dalam membangun spirit yang ini. Itulah sebabnya kita sering melihat Bustomi tanpa lelah mengejar bola, berduel, dan berjibaku dengan pemain lawan. Hal tersebut tidak bukan selain untuk mengimplementasi kan fighting spirit dalam bermain sepakbola.

Selain itu, Ahmad bustomi juga pemain yang egaliter. Egaliterian adalah suatu prinsip yang memandang bahwa setiap pemain, apapun levelnya, berapa pun usianya, darimana pun dia berasal, senantiasa memiliki peluang yang sama untuk menyuguhkan permainan terbaiknya, dan mengantarkan timnya memenangi setiap pertandingan.

Bagi saya ini yang menjadi faktor pembeda Ahmad Bustomi dengan pemain lain. Pemain yang menerapkan prinsip ini akan bisa lebih bermain all out, dinamis sejak menit pertama, bergerak dengan pasti, bertahan dengan etis, dan menyerang dengan santun, serta selalu waspada terhadap segala kemungkinan. Prinsip ini melahirkan sikap tidak memandang remeh pemain lawan dan menggangap semua pertandingan adalah penting, dan setiap laga adalah momentum aktualisasi diri. Arema dan dan tentu saja Timnas Indonesia sangat beruntung bisa mendapatkan jasanya. Itu yang pasti, sekarang Ahmad Bustomi bukan lagi milik Arema dan Aremania semata, namun juga sudah menjadi milik Timnas Indonesia dan seluruh supporter Indonesia. Semoga Bustomi mampu menuntaskan dahaga gelar bagi Timnas Indoneisa dengan menjuarai piala AFF 2010 ini. Lit Volat Propiis, terbanglah dengan sayap sendiri…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar